Keterangan
Buku pemikir yang kini menjadi Direktur Pendidikan Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Non-Formal dan Informal Departemen Pendidikan Nasional ini merupakan studi mendalam atas problem-problem pendidikan pascakolonial di Indonesia.
Dalam forum debat calon wakil presiden 2009, tema tentang jati diri diajukan Komisi Pemilihan Umum. Ketiga calon wakil presiden–Prabowo, Boediono, dan Wiranto–memberikan jawaban dari perspektif masing-masing: Prabowo dari sisi ekonomi kerakyatan, Boediono dari sisi normatif konstitusi, dan Wiranto dari sisi kepemimpinan.
Tak ada satu pun calon yang membicarakan jati diri dengan pendekatan pendidikan. Di luar forum debat, seorang pengamat menyatakan bahwa tema jati diri adalah masalah klise.
Betulkah? Para calon tersebut, juga pengamat yang meremehkan soal jati diri, perlu membaca buku karya Ella Yulaelawati, doktor bidang kurikulum pendidikan lulusan University of Queensland, Australia, ini.
Buku pemikir yang kini menjadi Direktur Pendidikan Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Non-Formal dan Informal Departemen Pendidikan Nasional ini merupakan studi mendalam atas problem-problem pendidikan pascakolonial di Indonesia. Salah satu problem tersebut adalah bahwa kondisi pascakolonial di Indonesia mewariskan sistem pendidikan yang mengalami ketegangan antara mengejar kemajuan yang identik dengan nilai Barat dan mempertahankan identitas lokal. Sejak kemerdekaan RI, karena itu sistem pendidikan di Indonesia direformasi dari waktu ke waktu. Dalam paparannya, penulis juga memberikan solusi untuk merebut keindonesiaan melalui pendidikan. Keindonesiaan, seperti diketahui, adalah soal jati diri.
Temuan utama dari studi dalam buku ini adalah bahwa pandangan dan praktek para pendidik Indonesia didasari keberpihakan yang tegas terhadap “heterocultures” lokal. Heterocultures lokal dapat dimaknai sebagai heterogenitas budaya-budaya lokal. Hal ini berbeda dengan keragaman budaya lokal (multiculture), karena keragaman lebih dimaknai sebagai budaya dari berbagai etnik.
Hetero-budaya lokal menunjukkan bahwa budaya suatu etnik lokal itu tidak tunggal dan tidak perlu ditunggalkan. Misalnya untuk etnik Sunda, ada Cianjur, Sukabumi, Tasik, Ciamis, Bandung, Cirebon, dan seterusnya. Di Cianjur, ada pesisir, pegunungan, dan perkotaan. Serat-serat perbedaan itu tidak terlalu diperhitungkan oleh para perencana pendidikan, tetapi sangat diperhitungkan oleh para guru.
Salah satu ekses dari upaya reformasi pendidikan yang berorientasi “western minded” atau teknokratik adalah terdepaknya kekayaan budaya lokal dari kurikulum sekolah, misalnya tiadanya pelajaran membatik di sekolah di Jawa. Mengenai hal ini, penulis mengatakan bahwa kurikulum muatan lokal pada 1994 dan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) tahun 2006 sebetulnya diharapkan dapat mengakomodasi kelokalan untuk diajarkan di sekolah secara leluasa. Tetapi dalam pelaksanaannya tidak diterapkan. Membatik tidak dianggap penting untuk muatan lokal.
Ini permasalahan pascakolonial di mana masyarakat memiliki obsesi kolektif terhadap pendidikan akibat diskriminasi pendidikan terhadap pribumi di masa penjajahan. Obsesi ini dipenuhi dengan pemberian porsi ilmu pengetahuan dan teknologi yang lebih mendapat perhatian. Keterampilan lokal, seperti membatik, kurang mendapat perhatian, terlebih lagi terbentur oleh minimnya biaya untuk peralatan dan ketenagaan yang kompeten.
Menghadapi globalisasi yang membawa budaya populer global, penulis menyarankan agar pemimpin pendidikan merekonstruksi identitas baru yang mencerminkan identitas bangsa Indonesia. Menurut dia, harus dilakukan rekonseptualisasi identitas baru dengan sepenuhnya melibatkan masyarakat. Pemahaman dan penerapan Bhinneka Tunggal Ika harus tecermin dalam identitas keindonesiaan sebagai perekat keragaman budaya, bahasa, potensi, dan kompetensi masyarakat dalam satu cita-cita mencapai kesejahteraan bersama.
Identitas bangsa, menurut penulis, diperlukan agar bangsa Indonesia tidak tergerus dalam budaya populer global sebagai budaya tunggal. Pencitraan kembali (rebranding) identitas Indonesia diperlukan untuk meningkatkan konsep diri kita. Dalam buku ini, tampak bahwa penulis sangat menyadari pentingnya pendidikan untuk merebut kembali identitas keindonesiaan. Penulis tampaknya sangat kritis terhadap imperialisasi nilai, budaya, dan ekonomi yang datang dari globalisasi.
Menurut dia, pendidikan dapat digunakan agar menghasilkan hibrida pascakolonial yang unggul. Telah banyak terbukti, orang Indonesia dapat lepas dari penjajahan dan berbagai krisis justru karena kekuatan kearifan lokalnya, seperti Sumpah Pemuda, Proklamasi, dan Reformasi. (KELIK M. NUGROHO)
* Dinukil dari Harian Koran Tempo Edisi 12 Juli 2009