Keterangan
Amir Hamzah di tapal batas sebuah masa dan bahasa. Di tahun 1930-an, tahun-tahun ketika dia mencapai aras kepenyairannya yang matang, tarik-menarik antara dua “kebudayaan besar” berlangsung begitu dahsyatnya. Barat dan Timur seolah menjadi dua entitas yang secara hitam-putih berbeda, bahkan terpotong. Pada saat yang sama, dia berdiri di aras bahasa Melayu yang kukuh namun segera menyadari pula keterbatasannya.
Tidaklah aneh kalau Amir memungut serpihan-serpihan masa silam dan bahasa lampau –setidaknya untuk kita di akhir abad ke-20– untuk konstruksi kekiniannya. Tidaklah aneh pula kalau Amir memungut anasir dari wilayah pinggitan lokus kebudayaannya sendiri. Warna Kristiani dan sejumlah kata Jawa dalam puisi-puisinya membuktikan setidaknya satu hal: betapa mustahil mengurung diri dalam bingkai sebuah kebudayaan.
CATATAN: Jika Anda sulit untuk masuk di warungarsip.co, silakan hubungi jalur cepat Gudang Warung Arsip via SMS/Whatsapp ~ 0878-3913-7459 (Pesan Cepat)