Kronik Kebangkitan Indonesia 1913-1917

Rp 550.000,00

Penulis: Taufik Rahzen, Muhidin M Dahlan, Dian Andika Winda, M Arief Rahmat, Oryza Aditama
Penerbit: IBOEKOE
Tahun Terbit: Agustus 2009
Tebal: 820 halaman
Ukuran: 15 x 24 cm
ISBN: 978-979-1436-10-6
Produksi: Hardcover – Limited Edition

  • Kondisi: Baru
  • Lokasi Stok: Gudang Warsip
  • Versi Produksi: Hardcover/Cetak Terbatas

Stok 4

Keterangan

Buku ini adalah buku jilid kedua dari 21 jilid. Dihadirkan dalam kerangka untuk melihat Indo­nesia dalam perjalanannya yang sudah seratus tahun pada kalender 2008.Pada momentum seabad itu coba di­u­rai dan dicatat keseluruhan perjalanan manusia-manusia In­do­nesia dalam membangun kepribadiannya, merumuskan kon­sen­sus-konsensus politiknya, menata ekonomi dan kohesi so­si­al­nya.
Dan yang lebih jauh adalah bagaimana manusia-ma­nusia itu memahat kesadaran kolektifnya sebagai bangsa dan merumuskan tujuannya sebagai negara. Terutama sekali jejak lahirnya tokoh, organisasi pergerakan, pers, partai politik, pertumbuhan kota, intensitas pencarian bahasa, religiusitas, dan toleransi sosial.

Gugus yang dituju dari semua proses penulisan Kronik Ke­bang­kitan Indonesia ini adalah merentangkan kembali ingatan perihal Indonesia dari perspektif yang lebih segar, optimistik, serta futuristik dari puluhan penulis muda Indonesia di bawah usia 25 tahun. Keseluruhan bilangan penulis itu ba­hu-membahu membuka kembali arsip dan rekaman-re­kam­a­n tertulis yang pernah dicatatkan oleh masa silam yang sekiranya bisa menyumbang dan sekaligus mengikat ingatan tentang manusia-manusia Indonesia dalam mengorganisasi kehidupannya dari hari ke hari, dari tanggal 1 hingga 30, dari Ja­nuari hingga Desember, dari 1908 hingga 2008, selama se­a­bad.

Kronik ini, oleh karena itu, bisa dipahami sebagai upaya in­tens untuk menghadirkan riwayat Indonesia sebagai sebuah kon­ti­nuasi yang tak pernah usai dari dimensi masa silam, masa kini, dan masa depan. Dari situ bisa terlihat bagaimana setiap pe­ris­tiwa berhubungan satu sama lain, secara langsung atau tidak dan disadari atau tidak, dan lantas membentuk kolase pe­ris­tiwa yang dari sana paras dan riwayat Indonesia bisa digambarkan, betapa pun kaburnya gambaran itu. Sebuah ikh­tiar melawan lupa dari sebuah negeri yang disebut-sebut mengidap penyakit akut amnesia.

 

1913: Tahun ini adalah tahun ketika Indische Parti­j (PI) naik pentas dan sekaligus ambruk seiring de­ngan jatuhnya putusan sebagai partai terlarang. Regeering Reg­le­ment (Peraturan Pemerintah) pasal 111 yang melarang ke­gi­at­­an orga­ni­sasi yang bersifat politik telah memangsa IP. La­rang­­an ini seperti menabur api di dada pengelolanya. Mak­a pada medi­o tahun ini terbit artikel Soewardi Soerjaningrat berjudul “Als ik eens Nederlands was” (Seandainya Saya Orang Belanda). Tulis­an Soewardi itu merupakan kritik pedas kepada Peme­rin­­tah Kolonial Hindia Belanda yang sedang bersiap-siap meng­adakan perayaan untuk memeringati 100 tahun kemerdekaan Belanda dari penjajahan Prancis. Kejatuhan IP justru tak berim­pa­k pada Sarekat Islam (SI) yang mulai membesar dan hidup di pelbagai kota di Jawa dan Sumatera. Cabang-cabang SI jug­a oleh Pemerintah Kolonial diberikan recht­persoon (status badan hukum). Lalu tahun ini ditandai pula dengan munculnya pelbagai perkumpulan “non-politik”, seperti Sino Japaneese Asso­ciation, Bong Jang Siauw Hak Tong di Tegal, Marde Pertjaja (Kristen), Katholieke Sociale Bond. Selain itu, kejadian-keja­dian sosial seperti kriminal turut terekam seperti civiel gezag­hebben (pejabat sipil) di Landak (Borneo) yang ditembak penjahat dari kolong rumah panggung tepat di bawah ranjang tidur. Atau tawuran antarsiswa sekolah berbeda bangsa di Padang (Indische School versus Europeesche School). Ada seng­keta tanah di Pamanukan, Jawa Barat. Ada kerusuhan rasial antara Tionghoa dan SI yang merembet ke pelbagai kota seper­t­i Tuban, Rembang, Cirebon, dan Solo. Dan sepanjang tahun ini diisi laporan kematian akibat pes yang mengamuk di Jawa Timur sampai-sampai akibat pes ini orang yang pulang naik haji harus diperiksa terlebih dahulu di Pulau Onrust sebelum pu­lang ke daerah masing-masing untuk mencegah komplikas­i penyakit menular.

1914: Tahun ini adalah tahun represif bagi aktivis per­ge­rakan bersamaan dengan keluarnya pasal 66a dan 66b seperti tercantum dalam staatblad (Lembar Negera­) No. 205-206: aparat hukum akan menghukum siapa pun yang dianggap menyebarkan kebencian terhadap Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Dalih persdelict (Pelanggaran Pers) satu per satu menyeret ke bui jurnalis-jurnalis kritis seperti Mas Marc­o Kartodikromo yang di tahun ini juga membikin koran pamflet Doenia Bergerak yang menjadi corong Inlandsche Journa­list Bond (IJB)— organisasi wartawan pribumi pertama-tama. Dalam suasana represi ini justru tumbuh duri-duri seperti usa­ha Hendricus Joshepus Franciscus Marie Sneevlie­t—tokoh komunis Belanda yang juga seorang jurnalis mendirikan ISD­V (Indische Sociaal-Democratische Vereeniging) di Surabaya. Se­lain rapat besar Boedi Oetomo di Semarang tentang sikap me­nyokong Pemerintah Belanda membentuk milisi Pribumi untuk Perang Eropa, tahun ini juga ditandai oleh meletupnya titik-titik rusuh seperti Perkebunan Bajabang di Distrik Radja­mandala dan kerusuhan rasial antara suku dayak Kalimantan Barat melawan orang-orang Tionghoa. Di bidang kesehatan, selain amukan pes yang belum mereda di Jawa Timur, di Bata­via dihunjam kolera. Muncul juga penyakit sapi di Klepu dan Ungaran (Jawa Tengah).

1915: Tahun ini Semaoen berjumpa dengan Sneevlie­t yang menjadi titik kisar sikap radikalismenya. Juga muncul sosok Hadji Misbach di Kauman Solo yang menerbitkan pers radikal Medan Moeslimin; di mana pada saat bersamaan Mas Marco Kartodikromo terkena ranjau persdelict untuk dua artikelnya sekaligus. Ranjau pers itu turut menimpa redaktur Selompret Hindia, Warna Warta. Tjipto Mangoenkosoem­o pun tak luput dari ranjau delik pers lantaran brosurnya berjudul “Ik Beschuiding” (Saya Menuduh). Tahun ini juga muncul orga­nisasi Tri Koro Dharmo (Tiga Tujuan Mulia) di Batavia yang menjadi cikal Jong Java yang dibentuk pada 1918. Sosrokardon­o turut mendirikan Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputera (PPPB). Selain catatan ihwal bantuan 334 peti pakaian Hindia Belanda yang dikirimkan kepada korban perang Eropa di Belanda lewat kapal, pemerintah Hindi­a membentuk komisi menjajaki belanja pesawat terbang dari Amerika yang untuk latih­an pertama kalinya di Jawa Barat pesawat itu rontok. Di tahun ini juga terbit suratkabar kepunyaan orang Jerman bernama Duitsche. Persaingan dagang antara pengusaha Tionghoa dan Jepang mulai tampak dengan adanya usaha memboikot produk-produk Jepang. Peristiwa kerusuhan juga mengiri­ngi tahun ini. Rusuh Borneo Barat yang sudah meletus setahun sebelumnya malah kian meluas tahun ini. Di Tapanuli, meletus pemberontakan bersenjata Golongan Takhayul yang membikin warga Kristiani dan Polisi Belanda kalang kabut dibuatnya. Puluhan anggota Sarekat Islam (SI) afdeeling Benedenladen Dusun Adagpatje dari Onderafdeeling Musi Hilir menye­rang Depati Senen hingga tewas. Di Makassar, kelompok Pong Timbang dan Betie menggelar pemberontakan bersenjata kepada Pemerintah.

1916: Tahun ini Pemerintah Hindia Belanda membe­ri­kan rechtpersoon kepada CSI setelah tiga tahu­n berjuang mendapatkannya. Di Jambi, Pasukan SI menggelar pembangkangan bersenjata di Muara Tembesi yang membikin pemerintah murka. Untuk melakukan sapu bersih, Departemen Perang mengeluarkan surat edaran yang melarang ambtenaar menceritakan kepada bangsa apa pun mengenai pemberontakan itu. Sementara itu, Residen Semarang mengu­sulkan kepada Gubernur Jenderal agar Tjipto Mangoenkoesoemo dibuang ke luar Jawa karena dukungan masyarakat di Jawa makin membesar. Di bidang politik, pada akhir Desember Volksraad (Dewa­n Rakyat) di Hindia Belanda disahkan keberadaannya oleh Parlemen Belanda. Di bidang pertanian dan sosial, selain kasus seng­keta tanah di Gejayan, Jogjakarta, juga muncul kasus burukny­a pelayanan kesehatan Pemerintah Kolonial sehingga muncul kasus miris seorang ibu mati melahirkan sendiri di hutan Distrik Singkarak. Tahun ini ditandai pula dengan memanasnya hubungan orang Jerman dan Belanda di Hindia ketika Kapalapi Pemerintah Kolonial Hindia Belanda bernama Kapalapi Bandoeng ditembaki kapal selam Jerman. Belanda juga mulai mencurigai orang-orang Jepang yang makin bebas berkeliara­n. Wartawan Jepang diadili dengan tuduhan menghasut dan peng­usahanya dipersulit gerak usahanya.

1917: Tahun ini Mahasiswa Indonesia di Belanda men­di­ri­kan Indonesische Verbond van Studeeren­den (Perkumpulan Mahasiswa Indonesia) yang kelak mencapa­i masa keemasan ketika Hatta bergabung di tahun 20-an. Sementa­ra Semaoen berhasil menggusur posisi Mohammad Joesoe­f sebagai ketua SI (Sarekat Islam) Semarang saat usianya baru 18 tahun. Sekaligus posisi itu membawanya menjadi pemim­pi­n redaksi Sinar Djawa—corong SI Semarang. Seperti halny­a ditangkap­nya Sneevliet, Mas Marco Kartodikromo kembali dibui lantaran tulisannya yang dimuat berturut-turut di koran Pantjaran Warta pada 14-19 Februari 1917. Tulisan itu diang­gap Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pedas dan provokatif. Aki­bat kejadian itu, represi terhadap pers dan aktivis pergerakan dinaikkan tensi­nya. Muncul pula kabar perpecahan gerakan Insulinde dengan Indische Sociaal Democratische Vereneging (ISDV). Sneevliet menuduh Insulinde dan Tjipto Mangoenkoesoem­o kurang sungguh-sungguh mengabdi kepada kepentingan kaum tertindas; sebaliknya Tjipto mengecam Sneevliet terlalu mabuk radikalisme. Adapun Soewardi Soerjaningrat di Belanda mulai diurus pembebasannya tapi Gubernur Jenderal Graaf van Limbur­g Stirum menolaknya dan bahkan dengan lantang mengatakan tidak takut dengan sosok ini. Di bidang sosial, meledak kerusuhan di Onderdistrik Pakat di afdeeling Batakladen akibat ulah Kaum Parhoedamdam (Perkumpulan Batak). Juga muncul aturan bahwa tiap rumah dalam kampung harus memiliki kentongan dari bambu untuk mengabarkan apabila terjadi bahaya. Yang marak juga dibahas di tahun ini adalah usaha Komite Pergerak­an Bahasa Jawa Ngoko yang mengusahakan pemakaian bahasa Jawa Ngoko di acara-acara resmi. Di pasar tradisional, harga barang-barang seperti lada, bawang, buncis, telur itik, melon­jak. Sementara terjadi pengetatan aturan agar beras tak boleh ke luar Hindia. Kenaikan dan kelangkaan beras ini adalah akibat berkobar-kobarnya Perang Eropa yang mempengaruhi pereko­nomian pemerintah kolonial Hindia Belanda.

* * *

Demikianlah, sehimpunan penulis muda Indonesia yang terga­bung dalam tim penulis I:BOEKOE ini mempersembahkan program penulisan Kronik Kebangkitan Indonesia sebagai donasi yang sebisa dan semampu-mampu yang diberi kepada bangsa dan masyarakat dalam melawan kealpaan yang berjeja­l-jejal dan membangkrutkan martabatnya agar mereka mawas diri dari kesalahan masa lalu atau mengail inspirasi dari kebaikan-kebaikan yang disumbang kesilaman untuk masa depan.

“Onhoorbaar goeit de padi (tak terdengar tumbuhlah pad­i),” ka­t­a Multatuli. Dan dalam semangat metafor itu pula para penuli­s muda ini mengerjakan program ini dalam sunyah yang tak terjangkau oleh deru dan sorak kereta kemajuan kecuali rasa peri­h diri ditelan dilindap sehabis-habisnya oleh data-dat­a bisu di ga­ni­sa-ganisa buku tua dan sobekan koran lampau yang terar­sip di ma­na kebisuan menjadi abadi. (Muhidin M Dahlan, Ketua Riset dan Penulisan)

Additional Information

Weight 1,250 kg