Keterangan
Kliping ini adalah wawancara biografis Abdurrahman Wahid. Dalam gelanggang politik, Gus Dur memiliki posisi sendiri. Begitu terpilih menjadi ketua Tanfidziyah dalam Muktamar 27 di Situbondo, Jawa Timur, pada 1984, Gus Dur membelokkan kemudi NU kembali ke Khittah 1926. Artinya, NU meninggalkan politik praktis. NU melepaskan diri dari PPP untuk berkiprah di bidang sosial dan ekonomi.
Tindakan Gus Dur itu membuat beberapa tokoh NU yang terlibat dalam politik praktis seolah surut karena tak bisa lagi menggunakan organisasi itu.
Ada tudingan, Gus Dur ingin tampil menjadi tokoh tunggal dari NU. Kembali ke khittah hanya akal-akalan saja. Apel akbar dua juta umat yang digelar pada 1992 jelang pemilu, bagi beberapa orang, dianggap show of force Gus Dur untuk tampil tanpa saingan.
Apa tanggapan Gus Dur?
“Pendapat, sih, boleh-boleh saja. Kalau saya dianggap mendepolitisasikan tokoh NU, ya, karena mereka memang sudah menjadi milik museum, he he he. Saya akan menendang semua yang menggunakan NU untuk itu.”
Gus Dur berkata: “Apa perlunya membentuk fungsi politis secara kelembagaan? lembaga politik bisa lenyap suatu saat. Golkar, PPP, PDI bisa hilang. Militer bisa saja berubah. Nah, dengan tidak ikut membuat lembaga politik, Islam tak akan hancur. Agar tetap langgeng, Islam jangan terkait dengan hal-hal yang fana.”
CATATAN:
ANDA bisa menghubungi Gudang Warung Arsip via SMS/Whatsapp 0878-3913-7459 (Pesan Cepat), jika:
– Kesulitan masuk di situs web warungarsip.co
– Jika dokumen yang Anda cari belum ada di situs web. Sebab, karena kemampuan penyimpanan yang tidak maksimal, sebagian besar kliping tidak bisa diunggah.